Kewenangan Desa: Antara Mimpi dan Kenyataan

Kewenangan Desa: Antara Mimpi dan Kenyataan
Oleh : Budi Usman, pengiat dan Direktur Eksekutif Komunike Tangerang Utara (www.budiusman.com),081386489810

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.

Seperti dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari kabupaten.
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pemba-ngunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam mencip-takan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masya-rakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demi-kian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.

Salah satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Namun demikian, realitas yang terjadi pada era otonomi dan desentralisasi yang muatannya sarat akan nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering menghadirkan permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era tersebut, proses politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola manajemen pemerintahan desa yang otonom.

Masyarakat atau kelompok masyarakat diper kenalkan dengan hal baru dalam konteks politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Beberapa kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan perlu dicari jalan keluarnya, antara lain:
Pertama, merubah mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun Kabupaten yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas pemberdayaan daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan terkadang masih harus menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari atas (Tuntas).

Kedua, usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di tingkat desa dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu dapat dilihat dari usulan tentang prioritas program pembangunan di desa dan kecamatan yang “itu-itu saja” dari tahun ke tahun. Ironisnya, usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam hal pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan rahasia lagi bahwa bagi Desa atau Kecamatan yang mempunyai orang yang memiliki akses di pemerintahan, baik di Legislatif maupun Eksekutif, sangat memudahkan Desa atau Kecamatan tersebut memperoleh prioritas proyek-proyek pembangunan.

Ketiga, jika Otonomi Desa benar-benar dapat diwujudkan, barangkali cukup menguntungkan bagi desa-desa yang memiliki aset dan sumber daya alam yang memadai, namun justru mempersulit untuk desa-desa yang kurang strategis dalam masalah sumber daya alam dan tidak memiliki aset yang cukup.

Keempat, sikap ambigu Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset Kabupaten yang ada di desa. Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air bagi PAD yang harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, Desa yang memiliki aset dan banyak menerima imbas dari keberadaan aset tersebut kurang dilibatkan penanganannya dan hanya menerima penyisihan hasil yang sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang mudah mengenai hal ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada di desa. Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti tergabung dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk berembug dan tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten.

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.

Reduksi sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya kedudukan BPD sebagai parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian keanggotaan BPD yang semula dalam UU No. 22/1999 “dipilih” berdasarkan mekanisme demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah.
Ditinjau dari sudut aliran pertanggungjawaban (legal accountabi-lity) penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004 maupun PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas. Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk memberikan laporan penye-lenggaraan pemerintahan desa kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Rumusan aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.

Selain itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya kehendak negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal 63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No. 32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi otonomi rakyat. Wallaualam Bisawab…***

20 responses to “Kewenangan Desa: Antara Mimpi dan Kenyataan

  1. Memang betul bahwa otonomi ditujukan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat maka pemerintah desalah yang paling tepat, tetapi pendelegasian kepada desa masih terbentur aturan yang diberikan oleh kota/kabupaten. Sumber dana bagi desa masih sangat minim, sehingga perlu solusi yang tepat dan sebaiknya otonomi desa diberikan oleh pemerintah pusat. blz ya.

  2. mr wangriba ane setuju dgn ente,otonomi desa hanya kamuflase,dan orang desa hnya jadi ndeso aja….

  3. otonomi,demokrasi, good government,……… mahal!!!!!!!emang ada yang mau nyumbang

  4. lemburkuring2007

    Makanya, jangan setengah-setengah. Ok.

  5. jika pemerintah konsisten akan melakukan pembangunan dengan didasari perencanaan, pelaksanaan, pemamfaatan yang berbasis kepada masyarakat bawah. maka sudah menjadi keharusan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota untuk memberdayakan pemerintah Desa/Gampong. dengan kata lain sudah saatnya hak otonomi masyarakat desa dibuka selebar-lebar yaitu dengan cara fasilitasi aturan/kebijakan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota. kondisi riil yang selama ini terjadi khususnya di Aceh. keberadaan pemerintah desa/gampong senantiasa menjadi perpanjangtangan pusat tanpa punya peluang untuk berkiprah sesuai dengan kreatifitas dan inisiatif masyarakat desa, hal ini dikarenakan pemerintah desa tindak memmilki aturan teknis baik itu mengenai pedoman pembuatan peraturan desa/reusam gampong yang harus disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota, serta aturan lainnya,

  6. terima kasih pak
    untuk saya dapat rujukan

  7. Otonomi desa perlu dijalankan dalam metoda gerakan, karena pemahaman antara kepala desa dan BPD yang masih belum menyeluruh. payung hukum yang telah dirumuskan oleh pemerintah ini memang butuh waktu khusus untuk sebuah implementasi. tapi tetap otonomi desa adalah jalan bagi percepatan terhadap pertumbuhan ekonomi bagi rakyat desa, yang tentu akan berdampak pada sisi kesejahtearaan. serta pembangunan organisasi-organisasi yang terdiri dari rakyat desa juga harus tetap di bentuk.

    thanks

  8. pergeseran pengakuan kewenangan desa kepada pemberian kewenangan arahnya belum jelas untuk membangun otonomi desa. Kebijakan pusat pada tataran implementasinya cenderung berbenturan dengan tahapan yg dibangun oleh daerah. Fenomena Sekdes jadi PNS adalah sebagai contoh percepatan pergeseran pengembangan otonomi desa yg tidak sinergis.

  9. informatif sekali. Trims.

  10. saya garis bawahi tulisan terakhir anda “Fenomena Sekdes jadi PNS adalah sebagai contoh percepatan pergeseran pengembangan otonomi desa yg tidak sinergis” KENAPA???? padahal semestinya seorang Sekdes hrus diangkat menjadi PNS karena merupakan ujung tombak pemerintahan desa sedangkan pemerintahan desa adalah ujung tombak pemerintahan kabupaten,provinsi dan pusat.
    SAYA kira wajar dan harus seorang SEKDES diangkat menjadi PNS.

  11. saya setuju dngn ap yang anda katakan, bhwa sda sewajarnya sekdes harus di angkat menjadi PNS.

  12. SUGIANA I KETUT

    BPD antara ada dan tiada. Otonomi Desa hanya sanjungan semu buat Pemerintahan Desa. Otonomi Daerah membuat Pemerintah Kab/Kota bersama DPRD-nya menjadi arogan. Pejabat politik tidak terlalu peduli dengan hakekat otonomi Desa. Mereka sibuk dalam upaya mengelola sistem money politik yang telah dilakoni, karena investasi material terlalu tinggi. Penyatuan sikap Desa dan Rakyat belum terwadahi secara efektif dalam peningkatan kapasitas tawar hak dan kewenagnan Desa. Pemerintah Desa tidak efektif minta fasilitasi kepada Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan otonomi Desa, akan tetapi perlu direct acces Mari bersatu mewujudkan pemerintahan otonom secara bertingkat.Mari bergabung dalam satu wadah BPD se-nusantara.Mari sejahterakan masyarakat Desa melalui Otonomi Desa. Desa-desa di seluruh Nusantara maju maka rakyat Indonesia akan sejahtera serta JAYALAH NEGERIKU TERCINTA.I N D O N E S I A!!!

  13. I Made Rincim Astawa

    Mas Budi Usman
    Ulasan anda bagus sekali. thank.

  14. Betul Fenomena Otonemi Daerah adalah Percepatan Pembangunan, pembangunan yang dilaksanakan oleh desa ( Bukan Kota ) akan sangat terasa dan bermanfaat bagi warga desa. namun demikian dengan diterapkannya keleluasaan keuangan di tingkat desa akan menimbulkan dua permasalahan baru, pertama, pembangunan di tingkat desa sepertinya akan selalu terputus-putus mengingat kepala desa dan anggotanya (kecuali Sekdes) akan sangat mungkin berubah (berganti) sesuai masa jabatan kades. jika pendahulu telah mampu meletakkan batu pondasi pembangunan maka penerusnya hendaknya melanjutkan pembangunan yang ada, tetapi menginat banyaknya kepentingan dalam pemerintah desa itu sendiri yang sering terjadi setiap ganti kades (dan perangkatnya cenderung terdiri dari pendukung saat kmpanye) maka berganti pula arah pembangunan yang akan di capai. pertanyaan bagaimana ujung tombak bisa maju kalau capaian program selalu berubah-ubah. yang paling mungkin dilakukan adalah perangkat desa (selain kades) haruslah orang yang tau dan mampu bagaimana akan menuju pada capaian program sehingga ujung tombak pembangunan dapat terarah dan terencana dengan lebih baik dan akhirnyapun bermuara kepada hal yang lebih besar.

  15. baik tidaknya otonomi desa sangat tergantung dari pada siapa kewenangan itu diamanatkan. otonomi tidak selamanya baik dan tidak selamanya buruk walaupun sudah tentu ononomi diberikan dengan alasan yang baik.

  16. 1. menurut saya sejauh apapun otonomi yang ada dan bagaimanapun bentuknya akan sama saja jika kesiapan masyarakat desanya tidak ada. sama seperti otonomi daerah yang memunculkan raja2 kecil baru dan yang efeknya pun korupsi sekarang marak dilakukan di tingkat daerah…. mari kita bayangkan bila nanti desa benar2 mencapai otonominya dengan luas tanpa dibarengi kesiapan mental dan skill aparaturnya juga masyarakatnya….. gmn……?
    2. kalau sekdesnya PNS, apa perangkat yang lain g pada iri…? ntar nanya ko cuma sekdes yang jadi PNS? yagn laen kan juga kerja?

  17. menurut saya otonomi yang diberjkan desaa sudah memadai untuk sekarang , tinggal pelaksananya yang harus mampu mengaplikasikan secara maksimal,karena seberapa bear otonomi yang akan diberikan tanpa diimbangi perubahan tidak ada artinya.yang penting mampu melayani dan mensejahterakan masyarakatnya

  18. terlepas dari bahasan diatas yang sangat dirasakan oleh Pemerintah Desa sekarang ini mekipun otonomi asli ada di desa adalah ketidakmampuan untuk menGAJI aparatur pemerintah desa jangankan mendapatkan gaji ke 13 seperti PNS gaji bulanan pun sangat tidak layak, karena posisi masyarakat sekarang sangat jauh dangan kondisi masyarakat dulu dimana gotong royong dan penghargaan terhadap pemerintah desa masih ada. disini saya selaku perangkat desa sangat merasakan hal tersbut

  19. otonomi desa sampai kapanpun tidak akan bisa dilaksananakn, tetap menjadi mimpi di awang-awang. kenapa? karena kondisi desa senyatanya di Indonesia bukanlah desa seperti di mimpi jaman dahulu kala, yang dipenuhi kewenangan asal-usul> ada beberapa indikator jika otonomi desa dapat terlaksana. Diantaranya: 1 harus mempertimbangkan tipologi desa yg berbeda di Indonesia, ada desa maju yg sangat dimungkinkan otonomi bisa berjalan ato desa modern (bukan kelurhan) (apa indikator desa maju?; desa setengah adat dan setengah modern; desa adat. secara umum ada 3 tipologi desa di Indonesia. dirancang bagaimanapun kewenangan desa dalam rangka mencapai otonomi tidak akan bisa jika, kondisi didalam desa itu tidak mendukung; legalitas dan payung hukumnya tidak jelas; kedudukannya juga tidak jelas, mandiri ataukah dibawah kabupate???…sungguh sangat rumit sisitem pemerintahan desa kita. pelayanan dituntut seperti kelurahan tapi reward, baik gaji dan remunerasi sangat jauh dari ideal.

Tinggalkan komentar