Tag Archives: Liberal

Pajak dan Warganegara

Bulan Maret lalu mungkin menjadi bulan yang tidak menyenangkan bagi sebagian besar diantara kita. Sunset policy, pengampunan bagi wajib pajak yang baru mendaftar berakhir, sudah harus berakhir dan daftar kekayaan pun harus disetor kepada pemerintah, lewat dinas Pajak pada 31 Maret 2009 lalu.

Pada akhir 2007, jumlah wajib pajak terdaftar baru 5,3 juta orang. Namun, hanya dalam tempo 14 bulan, yakni pada pertengahan Februari 2009, jumlah wajib pajak terdaftar melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 12,1 juta orang. Pendapatan negara pun meningkat. Pada 2007, penerimaan negara dari sektor pajak baru mencapai Rp491 triliun. Setahun kemudian, penerimaan negara dari pajak naik signifikan sebesar 32% menjadi Rp658,7 triliun. Rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto juga naik, dari 12,4% pada 2007 menjadi 14,1% pada 2008. Baca lebih lanjut

Syahrir Ternyata Seorang Liberal

Sedang melihat situs baru mengenai pemilu 2009, http://www.politikana.com,  eh…ketemu sebuah kalimat yang berbunyi begini:

“Jangan bicara tentang kebebasan dan kemerdekaan bila hatimu sendiri tidak bebas dan tidak pula merdeka. Kemerdekaan dan kebebasan individu itu merupakan hak asasi manusia. Bisakah engkau menghargai kebebasan dan kemerdekaan manusia lain, sedang hati nuranimu sendiri terbelenggu?”

Kalimat ini menurut penulisnya dikutip dari salah satu surat yang ditulis Syahrir ketika berada dalam pengasingan di Pulau Banda pada 1936-1942.

Buat saya cukup mengejutkan, eh…tokoh yang semula diusung sebagai seorang sosialis, ternyata sangat dan seorang LIBERAL.

Bisa melihat tulisan tersebut ditautan ini:

http://politikana.com/baca/2009/03/13/dari-syahrir-untuk-kita.html

“Kesenjangan Pendapatan di Dunia: Mengapa?”

(Kedai Kebebasan – Jakarta) Freedom Institute, bekerjasama dengan Friedrich Naumann Stiftung dan komunitas blogosphere Café Salemba kembali akan mengadakan sebuah diskusi ekonomi, yang kali mengambil tema kesenjangan pendapatan.

 

Sebagaimana yang telah menjadi diskusi serius, kita memang hidup di dunia yang tidak merata. Menurut Branko Milanovic (1999), 25% penduduk terkaya di dunia menikmati 75% pendapatan dunia. Dalam konteks antarnegara, rata-rata pendapatan per kapita 20 persen negara terkaya mencapai 25 kali pendapatan per kapita 20 persen negara termiskin di tahun 2000.

 

Namun sebuah potret yang diambil pada satu waktu tentu tidak bisa bicara banyak. Ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan: 1) bagaimana kecenderungan kesenjangan pendapatan dari waktu ke waktu? 2) mengapa terjadi kesenjangan? 3) apakah kesenjangan pendapatan adalah sesuatu yang tidak terelakkan? 4) apakah kita harus fokus pada menghilangkan kesenjangan, atau pada peningkatan kesejahteraan penduduk di bagian terbawah distribusi pendapatan?

 

Beberarapa pertanyaan diataslah yang coba untuk dibahasa dalam diskusi yang akan diadakan di:

 

Tempat                         :  Freedom Institute, Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta

 

Hari/Tanggal/Jam         :   Kamis 19 Juni 2008, 18.00 – 21.00

 

Pembicara                    :  1. Ari A. Perdana (FE UI)              

                                      2. Teguh Yudo Wicaksono (CSIS)

 

Moderator                    :  Hamid Basyaib (Freedom Institute)

 

Bagi anda yang berminat untuk hadir dalam diskusi tersebut dapat menghubungi Freedom Institute, dengan kontak:  Tata atau Imie pada nomor telp. 021 3190 9226.

 

Konsep Pemikiran Ordo Liberalismus

Saat para pengkritik Liberalisme mencecar kerangka berfikir ekonomi pasar ataupun globalisasi dan berbagai manfaat yang ada didalamnya, secara membabi buta mereka tak bisa membedakan berbagai varian pemikiran yang ada dalam Liberalisme dan memukul rata menyebutnya neo-liberal.  Lebih parah lagi mereka selalu mengidentikkannya dengan aliran pemikiran yang awalnya berkembang di Universitas Chicago (Chicago School), Amerika Serikat.

 

Maka klop lah liberalisme dengan neo-liberal dan Amerika Serikat. Segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat dianggap sebagai langkah neo-liberal dan sekaligus sebagai liberalisme.

 

Suatu kerancuan berfikir yang sesat. Baca lebih lanjut

Lomba Video Amatir

new-fnf-logo.jpg 

Kompetisi Video Amatir 2008

Friedrich Naumann Stiftung – Indonesia 

Latar Belakang:

Perjuangan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan dan mencapai kesejahteraan adalah potret yang sehari-hari kita jumpai. Pedagang-pedagang kecil yang menghuni lahan-lahan kosong diberbagai pelosok kota adalah wajah perjuangan untuk mencapai tingkat kemakmuran dan kehidupan yang lebih baik. Kampung-kampung kumuh yang banyak bertebaran diperkotaan adalah wajah perjuangan ekonomi yang lain.  

Namun acapkali mereka harus tersingkir dari lahan usaha yang mereka huni sekian lama. Puluhan tahun menghuni lahan pemukiman atau usaha tak menjadi jaminan memperoleh hak kepemilikan atau pengakuan yang legal atas lahan tersebut, walaupun selama waktu tersebut mereka membayar pajak dan iuran atas lahan yang mereka pakai.  Kepastian hukum tak mereka dapatkan. Bayangkan jika status legal kepemilikan atas lahan hunian atau usaha tersebut didapat, mereka dapat memakainya untuk memperoleh kredit usaha dari perbankan, misalnya. Paling tidak ada sebuah kepastian terhadap usaha yang mereka jalankan.  

Friedrich Naumann Stiftung Indonesia, dengan latarbelakang ini, mencoba membuat kompetisi pembuatan video amatir yang berdurasi pendek, yang merekam berbagai persoalan, terkait dengan hak kepemilikan (property right – secara fisik) dan kebebasan ekonomi ini.   Baca lebih lanjut

Ayah Adalah Kepala Keluarga…

book.jpgAyah adalah kepala keluarga, yang dapat pula diartikan laki-laki lah yang menjadi kepala keluarga.

“Ajaran sesat” ini saya simak saat dua hari lalu, anak perempuan saya yang duduk di kelas dua sekolah dasar (SD), membacakan kutipan salah satu mata pelajarannya (saya lupa nama mata pelajaran tersebut, tetapi pastinya yang berkaitan dengan soal moral dan budi pekerti). Baca lebih lanjut

Sekali Lagi Tentang Ekonomi Pasar Sosial

Ekonomi Pasar Sosial, tiga kata ini belakangan menjadi konsep yang digadang-gadang sebagai alternatif. Tak sedikit yang membahasnya, mengulas dan menyesuaikannya dengan kebutuhan Indonesia. Tak sedikit pula yang terjebak dan salah memahaminya.

Saya teringat pada sebuah diskusi panel yang saya hadiri tanggal 3 Desember, di gedung CSIS, Jl. Tanah Abang II, Jakarta Pusat, yang sebenarnya membahas persoalan persaingan (kompetisi), UU no. 5 tahun 1999, KPPU, dan kasus Temasek yang baru-baru ini mencuat. Namun karena persoalan persaingan usaha, kompetisi, monopoli, peran negara, atau ekonomi pasar adalah prinsip-prinsip yang dibahas pula didalam ekonomi pasar sosial, maka mau tidak mau bersinggunganlah pembahasan salah satu pembicara dengan konsep ini.

Adalah Faisal Basri, ekonom yang juga pernah menjadi anggota komisioner KPPU, dalam paparannya mengatakan bahwa persoalan kompetisi di Indonesia justru banyak mendapat hambatan dari perilaku badan usaha milik negara (BUMN), yang banyak melakukan monopoli dalam praktek usahanya. Umumnya mereka tak menghendaki persaingan/kompetisi. Oleh karenanya Faisal mengajukan privatisasi sebagai salah satu solusinya dan mengkedepankan kompetisi yang fair dikalangan pelaku usaha. Privatisasi BUMN tersebut tak harus berarti pemodal asing, oleh lokal pun tak mengapa, karena disisi yang lain Faisal mengkritik pula penguasaan modal asing atas beberapa sektor usaha yang ada di Indonesia. Baca lebih lanjut