Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia (bagian pertama)

Di tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) diplesetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh lantaran korupsi.

Catatan sejarah memang menunjukkan bahwa pada paruh kedua abad 18 VOC digerogoti oleh korupsi yang akut. Pada tanggal 12 Desember 1642 Gubernur Jendral Antonio Van Diemen bahkan menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi yang terjadi di tubuh VOC. Berbagai upaya ubtuk memberantas korupsi di dalam tubuh asosiasi dagang ini tak berhasil. Sehingga tak jarang dikatakan bahwa korupsi saat itu sudah menjadi suatu kenyataan hidup.

Pasal utama penyebab korupsi ini adalah kecilnya gaji yang diterima oleh para pegawai VOC. Sementara gaji pegawai rendahan VOC, yang hanya berkisar antara 16 gulden hingga 24 gulden per bulan, tak sesuai dengan gaya hidup di Batavia pada saat itu. Para pegawai setingkat juru tulis rata-rata menerima gaji 24 Gulden setiap bulan, sementara seorang Gubernur Jendral menerima 600 hingga 700 Gulden setiap bulan. Para pejabat VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga juru tulis, banyak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam banyak kasus ditemukan jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan perdagangan diperjualbelikan dan diberikan kepada orang yang memberikan penawaran tertinggi.

Sudah barang tentu sebagai sebuah perusahaan dagang VOC melarang para pegawainya terlibat dalam perdagangan. Akan tetapi dengan alasan gaji yang kecil, pada saat itu taklah heran jika dijumpai para pejabat VOC yang melakukan kerjasama dagang dengan para pedagang Portugis, India, atau Perancis. Bahkan praktek tersebut mungkin dikerjakan sebagai prioritas ketimbang kerja untuk VOC sendiri. Tak jarang merea memanfaatkan kapal VOC untuk mengangkut barang yang bukan diperuntukkan bagi VOC sendiri. Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di London pada tahun 1743, A Description of Holland, or the Present State of the United Provinces,” dilaporkan banyak kapal VOC yang karam akibat kelebihan muatan.

Persoalan korupsi ini tidak berarti tuntas tatkala VOC digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sistem birokrasi Hindia Belanda yang mengenal dua sistem, Bestuurs Beambten (BB) dan Pangreh Praja, memicu tindakan korupsi dalam bentuk yang lain. Pada masa Tanam Paksa, 1830-1870, penduduk pribumi diwajibkan untuk menanam beberapa jenis tanaman yang laku di pasar-pasar Eropa. Menurut peraturan petani diharuskan untuk menanami 1/3 bagian dari tanahnya bagi tanaman wajib tersebut. Umumnya tanaman tersebut berusia tahunan seperti kopi, teh, atau nila. Berdasarkan peraturan harus mengubah 1/3 bagian dari sawah-sawah produktif mereka guna tanaman tersebut dan meluangkan 1/3 waktu mereka untuk menagawasi tanaman tersebut.

Akan tetapi dalam prakteknya kepala desa, demang, wedana, atau bupati yang bertanggung jawab atas tanam paksa tersebut justru memaksa para petani untuk menanami 2/3 bagian dari tanahnya untuk tanaman wajib. Keuntungan yang didapat sudah barang tentu masuk dalam kantung pribadi para pejabat tersebut. Sementara itu residen-resinden dan pengawas (controluer) Hindia Belanda mendiamkan saja praktek tersebut karena mendapat bagian yang tidak sedikit. Taklah heran bila pada masa Tanam Paksa wabah penyakit dan kelaparan melanda penduduk pedesaan, terutama di Pulau Jawa, karena di dalam prakteknya mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengawasi tanaman tahunan yang diwajibkan dan tak memiliki waktu lagi untuk sawah-sawah mereka. Belum lagi 1/3 bagian yang dapat mereka tanami untuk padi, tak mencukupi kebutuhan keluarga mereka dalam setahun.

Situasi tersebut tidak berubah banyak meskipun sistem Tanam Paksa dihapuskan pada tahun 1870 dan diganti oleh sistem perekonomian liberal, dimana perusahaan-perusahaan swasta diizinkan untuk membuka perkebunan-perkebunan dalam skala besar. Perubahan ini juga menandai diterapkanya sistem kerja upahan.

Modal asing semakin deras masuk ke Hindia Belanda, yang bukannya memberikan kebaikan, tetapi justru semakin memperburuk kondisi kehidupan masyarakat. Para pemilik modal, selain bisa memiliki tanah, juga dapat menyewa dari penduduk setempat atau pemerintah. Sawahsawah desa yang bersifat komunal mulai banyak disewakan para kepala desa dimana mereka mendapat premi tertentu, sementara peduduknya menjadi kuli secara massal. Petani telah menjadi budak di lahannya sendiri.

Meskipun industri Gula semakin berkembang, kehidupan kaum buruh dan tani yang menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula kian lama kian terpuruk. Kehidupan kaum buruh dan petani yang buruk itu tak ada satupun mendapat pembelaan dari aparat birokrasi pemerintah, yang seharusnya memeberikan perlindungan. Para kepala desa sudah sepenuhnya menjadi alat perusahaan perkebunan tebu dengan berbagai suap yang mereka terima. Pemberontakanpemberontakan kecil petani tebu mulai muncul, dengan membakar area perkebunan tebu.

Di sisi yang lain persoalan klasik yang ada pada masa-masa sebelumnya tetap dijumpai. Gaji yang diterima oleh para pangreh praja, terutama pangreh praja rendahan seperti wedana, camatcamat dan mantri, tetaplah kecil. Keuntungan besar yang didapat pemerintah Hindia Belanda dari sewa-menyewa lahan perkebunan dan pajak yang mereka peroleh dari penguaha-pengusaha perkebunan tak digunakan untuk mensejahterakan aparat birokrasi pada level menengah ke bawah. Sementara sebagai bagian dari pemerintahan Hindia Belanda dan sistem birokrasi tradisional, para pangreh praja ini harus memelihara gaya hidup sebagai priyayi. Diduga mereka menerima segala macam upeti dari rakyat untuk membiayai hidup mereka.

Para patih dan bupati, meskipun gaji yang mereka terima lebih tinggi, juga banyak menerima upeti yang tidak resmi dari rakyat. Selain itu mereka pun masih memelihara kewajiban kerja bakti bagi para kawula yang berada dibawah kekuasaan mereka. Kewajiban-kewajiban tidak resmi ini baru dihapuskan sama sekali oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890. Peristiwa antara Bupati Lebak dan Multatuli mungkin salah satu contoh yang menarik tentang penindasan dan tindak korupsi yang dilakukan oleh pangreh praja Hindia Belanda.

Dengan diperluasnya pemungutan pajak oleh Belanda atas tanah dan hasilnya, pejabat pribumi setingkat kepala desa dan pembantunya memanfaatkan kesempatan dari peluang baru tersebut untuk mengambil keuntungan yang besar. Di Jawa, Bekel (petugas pemungut pajak) menaikkan 20 kali lipat apa yang mereka bayar kepada atasan mereka.

5 responses to “Korupsi Dalam Dimensi Sejarah Indonesia (bagian pertama)

  1. katanya di buku ips kls 5 kelebihan hasil panen akan di kembalikan kepada rakyat setempat

  2. sampe sekarang budaya itu kayaknya masih ada, baik di birokrasi pemerintah maupun swasta. Udah jadi tradisiiiiii (kata iklan).

  3. emang masih ada.malahan yang terjadi sekarang ini birokrasi yang sekarang ada bisa dikatakan warisan dari sistem birokrasi bekas dulu. so…. budaya korupsinya juga ikut terwariskan

  4. tahun ini seharusnya DPR merampungkan UU Tipikor dan UU Pengadilan Tipikor, tapi ternyata sampai akhir masa kepengurusan, nasib kedua UU ini belum tuntas. rancananya malah akan dibuat Perpu oleh Presiden.

    saya rasa rampungnya kedua UU ini menjadi tolok ukur keseriusan warga dan pemerintah RI dalam upaya pemberantasan korupsi. sehingga jangan sampai negara ini merasakan kehancuran karena korupsi seperti VOC di masanya.

  5. Memang korupsi di INA udh tradisi trun-tmurun dr zaman Belanda. Dan skrang INA msih blm bs dgn cpat mmbrntasnya. Shingga 1 ksus korupsi blm trslesaikan, dtang lg ksus bru 😥

Tinggalkan komentar