Romantisme Sejarah atau Demi Kemajuan?

Beberapa hari lalu saya mengklik TEMPO Interaktif, mencari berita tentang sengketa Indivision, ESPN, Star Sport, dan Astro sebenarnya. Masih penasaran dengan hilangnya siaran liga Inggris dari monitor TV di rumah, dan ketemulah berita yang menarik ini, tentang bahasa daerah BIMA, tempat saya lahir di Nusa Tenggara Barat. Judulnya “Diusulkan Pemakaian Kembali Aksara Bima.”

 

Tokoh masyarakat Bima, Siti Maryam Rachmad bermaksud menghidupkan kembali penggunaan aksara Bima dalam bahasa tradisional Bima, Nggahi Mbojo. Ia bermaksud mengusulkan rencana itu kepada pemerintah. Siti adalah putri Sultan Salahudin Bima, bekas Sultan Bima. Siti mengatakan rencana itu telah dibahasnya dengan ahli bahasa Bugis asal Belanda, Dr Nurden, yang menemuinya di Mataram pada 1990. Sang ahli, menurut Siti, menemukan aksara tersebut pada sebuah buku karangan peneliti Belanda bernama Solenger.Aksara Bima menghilang dari penggunaan sehari-hari masyarakat setelah dikenalnya huruf Arab pada zaman penyebaran Islam di Bima. Bentuknya seperti aksara Makassar, tapi tidak sama. Jumlahnya lebih dari 20 huruf. Namun, menurut Siti, masih ada empat huruf pengganti X, Y, dan Z yang belum ditemukan.Yang mengusik pikiran saya adalah untuk apa lagi menghidupkan fosil yang sudah mati? Berguna bagi kepentingan masyarakat umum atau hanya memenuhi kepuasan pribadi saja? Apakah nanti seluruh bacaan yang terbit di Bima ditulis dalam aksara Bima? Apakah waktu belajar anak-anak disekolah akan berkurang lagi dengan mempelajari bahasa dan aksara Bima? Apakah akan berguna bagi kemajuan sang anak dimasa depan. Setahu saya, jika melihat berbagai iklan lapangan pekerjaan yang ada di media massa, salah satu syarat yang ditulis adalah “menguasai bahasa Inggris, jika bisa berbahasa Mandarin lebih disukai.” Atau bahasa-bahasa internasional lain seperti Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Arab, Jepang, dll. Tak ada yang meminta yang mahir berbahasa Sunda, Bima, Jawa, Bugis, Makassar, Palembang, Aceh, dll.Saya sudah cukup terganggu dengan habisnya dua jam mata pelajaran di sekolah anak saya, sekolah dasar, untuk mempelajari bahasa Sunda. Mata pelajaran yang tak diujikan secara nasional dan hanya memenuhi kepuasan sentimen kedaerahan semata.

Pendidikan yang memuat kontens lokal telah disalah artikan dan disempitkan hanya sebatas bahasa dan huruf semata. 

4 responses to “Romantisme Sejarah atau Demi Kemajuan?

  1. Sebagai sebuah aktivitas keilmuan sih bagus sekali. Cuma kalau kemudian dijadikan proyek yang menambahi kurikulum itu yang sebaiknya ditolak.

  2. Kalo untuk ekskul yang sifatnya pilihan sih gak apa-apa… tapi kalo misalnya dipaksakan sih.. sayang aja….

  3. Pendidikan Indonesia memang tidak jelas visi-nya ke mana

  4. Kalau menurut saya sih, OK² saja mengajarkan aksara daerah di sekolahan, tapi mungkin porsinya yang harus ditinjau ulang. Soalnya dulu waktu es em pe, muatan lokal kedaerahan terbagi atas beberapa mata pelajaran yaitu: bahasa daerah, kesenian/keterampilan daerah, dan sejarah daerah.
    Mungkin lebih efisien dan efektif kalau semuanya dirangkum jadi satu saja…

Tinggalkan Balasan ke rhakateza Batalkan balasan